Kamis, 07 April 2011

Perniagaan (Masalah Jual Beli)

Kamis, 07 April 2011

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
(Alumnus S3 Universitas Islam Madinah Dengan Nilai Summa Cumlaude)

Perniagaan adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia, tidak ada manusia di dunia ini melainkan ia membutuhkan kepada hal ini. Sebab setiap orang tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan dengan sendiri, ia pasti membutuhkan kepada bantuan orang lain, baik melalui uluran tangan dan bantuan atau dengan cara imbal balik melalui hubungan perniagaan. Oleh karena itu syari’at Al Qur’an tidak melalaikan aspek ini, sehingga kita dapatkan berbagai ayat dan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan dan mengatur perniagaan umat Islam.

Di antara sekian banyak ayat dan hadits yang membuktikan bahwa Islam telah memiliki metode aturan yang indah lagi baku dalam perniagaan ialah firman Allah Ta’ala berikut,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)

Pada ayat ini, Allah mengharamkan atas umat manusia untuk mengambil atau memakan harta sesama mereka melalui perniagaan bila tidak di dasari oleh rasa suka sama suka, rela sama rela. Oleh karena itu diharamkan dalam Islam jual beli yang di dasari karena rasa sungkan atau rasa malu atau rasa takut, sebagaimana dijelaskan oleh ulama’ ahli fiqih, sebagai contohnya silahkan baca kitab As Syarhul Mumti’ 8/121-122 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Diantara wujud indahnya syari’at Al Qur’an dalam perniagaan ialah apa yang digambarkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)

Dalam perniagaan terkadang kala kita merasa perlu untuk berhutang dengan ketentuan wajib membayar dalam tempo yang disepakati. Akan tetapi tidak setiap kali orang yang berhutang mampu melunasi piutangnya pada tempo yang telah disepakati dikarenakan satu atau lain hal. Bila kita menghadapi keadaan yang seperti, syari’at Al Qur’an menganjurkan bahkan kadang kala mewajibkan atas orang yang memberi piutang untuk menunda tagihannya hingga waktu kita mampu melunasinya, tanpa harus menambah jumlah tagihan (bunga), sebagaimana yang biasa terjadi di masyarakat jahiliyyah dan juga sebagaimana yang terjadi pada sistem perokonomian jahiliyah yang dianaut oleh kebanyakan masyarakat pada zaman ini.

Perbuatan menunda tagihan bila yang berhutang dalam keadaan kesusahan atau tidak mampu, bukan hanya sebagai etika perniagaan semata, akan tetapi merupakan salah satu amal ketaatan dan amal shalih yang dengannya pelakunya akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari Allah Ta’ala, baik di dunia ataupun di akhirat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual, ketika membeli dan ketika menagih.” (HR. Bukhari)

Dan pada hadits lainnya, beliau menyebutkan salah satu bentu balasan Allah kepada orang yang menunda tagihan dari orang yang kesusahan,

“Huzaifah rodhiallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah bertanya kepadanya, Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian)(*) Iapun menjawab, Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) dari orang yang mampu dan menunda (tagihan dari) orang yang tidak mampu. Kemudian Allah berfirman: Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
(*) Surat An Nisa 42

Dari dua hadits ini, kita mendapatkan suatu pelajaran berharga, yaitu walaupun perniagaan bertujuan untuk mengais rezeki dan mengumpulkan keuntungan materi, akan tetapi perniagaan juga dapat menjadi ajang untuk mengais dan mengumpulkan pahala dan menghapuskan dosa, sebagaimana yang dikisahkan pada hadits kedua di atas.

Diantara prinsip perniagaan yang diajarkan oleh syari’at Al Qur’an ialah senantiasa berlaku jujur ketika berniaga, sampai-sampai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

“Wahai para pedagang! Maka mereka memperhatikan seruan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallamdan mereka menengadahkan leher dan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” (HR. At Tirmizi, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Albani)

Sebagai salah satu contoh nyata dari perilaku pedagang yang tidak jujur, ialah apa yang dikisahkan pada hadits berikut,

“Dari Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersebut, lalu jari-jemari beliau merasakan sesuatu yang basah, maka beliau bertanya, “Apakah ini wahai pemilik bahan makanan?” Ia menjawab, Terkena hujan, ya Rasulullah! Beliau bersabda, Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabuhi maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)

Di antara perwujudan dari keindahan syari’at Al Qur’an ialah diharamkannya memperjual-belikan barang-barang yang diharamkan dalam syari’at atau ikut andil dalam memperjual-belikannya. Sebab setiap barang haram, pastilah mendatangkan dampak buruk dan merugikan, baik pemiliknya atau masyarakat umum. Ini merupakan salah satu metode syari’at Al Qur’an dalam menjaga kesucian harta hasil perniagaan, dan menjaga kesucian masyarakat dari barang-barang haram dan menjaga ketentraman mereka. Oleh karena itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR. Imam Ahmad, Al Bukhari dalam kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrani, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu. Dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 5/746)

Sebagai salah satu contohnya perniagaan khamer, diharamkan, bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah melaknati setiap orang yang memiliki andil dalam perniagaan ini,

“Dari Anas bin Malik rodhiallahu ‘anhu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melaknati berkaitan dengan khomer sepuluh orang: Pemerasnya, orang yang meminta untuk diperaskannya, peminumnya, pembawanya (distributornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang mensajikannya), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya.” (HR. At Tirmizi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)


Related Posts



0 komentar:

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

Foto saya
Serahkan Semuanya Kepada Anda

Pengikut

Copyright © Food & Drink Recipes | Powered by Blogger | Template by Blog Go Blog